google.com, pub-9717546832976702, DIRECT, f08c47fec0942fa0 google.com, pub-7852137543983973, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Sejarah Sultan Aji Muhammad Idris: Pemimpin Islam Pertama di Kutai & Pahlawan Nasional

Sejarah Sultan Aji Muhammad Idris: Pemimpin Islam Pertama di Kutai & Pahlawan Nasional

Sultan Aji Muhammad Idris adalah sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Gelar dan perjuangannya sampai hari ini terus dikenang, terlebih setelah ia resmi mendapat penghargaan Pahlawan Nasional. Namun, sejarahnya jauh lebih luas dari sekadar gelar; ia adalah simbol perubahan, keberanian, dan persatuan antar kerajaan di Nusantara. Berikut ulasan mendetail, mulai dari latar, masa kekuasaan, perjuangan melawan VOC, hingga warisan yang hidup hingga sekarang.

Aji Muhammad Idris - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

  1. Latar Belakang dan Kelahiran
  • Sultan Aji Muhammad Idris lahir sekitar tahun 1667 di Jembayan, wilayah yang sekarang berada di Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
  • Ia berasal dari garis keturunan kerajaan Kutai; ayahnya adalah Adji Pangeran Dipati Anom dan ibunya Adji Datu Pangiang Penggih.
  • Karena latar bangsawan dan kerajaan, sejak muda ia sudah terbiasa dengan adat istiadat, kepemimpinan lokal, dan pergaulan antar kerajaan. Ini menjadi modal penting dalam kepemimpinannya kelak. (disimpulkan dari sumber latar & deskripsi kerajaan Kutai)
  1. Peralihan Nama dan Status Islam dalam Kerajaan Kutai
  • Pada tahun 1735, Pangeran Anom ini naik tahta sebagai Sultan ke-14, dan pada saat itu secara resmi mulai menggunakan nama Islam yaitu “Sultan Aji Muhammad Idris”.
  • Ini adalah langkah simbolis dan praktis yang penting: Kutai Kartanegara yang sebelumnya masih memakai gelar “Raja” atau “Aji” tanpa gelar sultan, kini menegaskan identitas kerajaan Islam.
  • Perubahan ini juga berarti adanya pembaruan dalam struktur pemerintahan, termasuk penggunaan lembaga keagamaan formal (kadi, hakim agama), dan integrasi hukum Islam dalam adat yang berlaku.
  1. Masa Kekuasaan: Pemerintahan dan Diplomasi
  • Sultan Aji Muhammad Idris memerintah dari sekitar 1735 hingga 1778 sebagai Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
  • Selama masa pemerintahannya, ia berusaha memperkuat hubungan antar kerajaan; terutama melalui ikatan kekerabatan, pernikahan, dan aliansi politik. Contohnya, hubungan dengan Kerajaan Wajo (Sulawesi Selatan) karena pernikahan dengan anggota keluarga kerajaan Wajo.
  • Diplomasi ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi punya dampak nyata dalam mendukung perlawanan terhadap kolonial Belanda (VOC). Dengan aliansi ini, ia mendapatkan dukungan militer, prajurit, dan legitimasi moral dalam menghadapi dominasi kolonial.
  1. Perlawanan Terhadap VOC: Berangkat ke Wajo dan Perang
  • Salah satu episode yang paling dikenang dalam sejarahnya adalah ketika ia berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan, untuk membantu rakyat Bugis melawan VOC.
  • Ia membawa sekitar 200 prajurit Kutai sebagai bentuk solidaritas kerajaan terhadap kerabatnya dan sebagai respons terhadap kebijakan penjajahan VOC.
  • Perlu dicatat bahawa VOC saat itu sangat kuat, dan perlawanan ini bukan tanpa risiko besar. Aji Muhammad Idris memilih menjalankan fungsi bukan hanya sebagai sultan, tetapi sebagai pemimpin yang turun ke medan strategi dan militer.
  1. Gugur di Medan Perang & Legenda Kematian
  • Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan perang di Wajo pada sekitar tahun 1739 dalam pertempuran melawan VOC.
  • Versi-versi cerita tentang bagaimana ia gugur sedikit berbeda di beberapa sumber: ada yang menyebut bahwa dia terluka parah dalam pertempuran terbuka; ada juga yang mengatakan bahwa terjadi tipu muslihat oleh pihak VOC yang menggunakan taktik licik seperti perang gerilya, penyergapan atau jebakan. Namun, semua setuju bahwa kematiannya adalah akibat perlawanan melawan kolonial.
  • Jasadnya diyakini dimakamkan di Wajo, bersama La Maddukelleng (kerabat dan mertua yang juga pejuang).
  1. Pengaruh Budaya & Sosial
  • Karena menjadi sultan pertama memakai nama Islam, Sultan Aji Muhammad Idris berperan besar dalam transformasi budaya Islam di Kutai. Ia memperkenalkan norma-norma, struktur keagamaan, penggunaan nama Islam, penegakan kadi, dan pengaruh Islam yang lebih formal dalam pemerintahan dan masyarakat.
  • Tradisi lokal seperti upacara Erau mulai mendapat makna tambahan di era pemerintahan Idris, sebagai bagian identitas kerajaan Islam yang juga menjunjung adat. Erau sendiri adalah upacara besar di Kutai, sering dikaitkan dengan budaya Kerajaan.
  • Sosial-politik lokal juga merasakan dampaknya: hubungan antarkerajaan menjadi lebih kuat, solidaritas regional (contohnya antara Kutai dan Wajo), dan rasa pertahanan terhadap identitas lokal terhadap tekanan luar (VOC dan kolonialisme).
  1. Proses Pengakuan & Gelar Pahlawan Nasional
  • Sultan Aji Muhammad Idris akhirnya diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia pada 10 November 2021. Penghargaan itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 109/TK/2021 dan 110/TK/2021.
  • Ia menjadi pahlawan nasional pertama dari Kalimantan Timur, sebuah momen penting bagi sejarah dan identitas provinsi itu.
  • Pemberian gelar ini disambut antusias oleh masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan budaya, karena dianggap sebagai pengakuan atas jasa perjuangannya yang selama ini belum begitu banyak diketahui publik secara nasional.
  1. Kontroversi, Mitologi, dan Sumber Sejarah
  • Meskipun banyak yang memuji perjuangannya, sejarah Aji Muhammad Idris juga tidak lepas dari mitos dan interpretasi lokal. Beberapa sumber tradisional seperti salasilah Kutai dan lontarak (naskah lokal) memiliki penjabaran yang berbeda-beda tentang tahun, detail peperangan, atau taktik perlawanan.
  • Kesulitan primer hadir karena kurangnya arsip Belanda (VOC) yang mencantumkan detail lengkap tentang pasukan Kutai dalam pertempuran-pertempuran kecil di luar Jawa atau Sulawesi.
  • Sejarawan modern banyak menggunakan kombinasi antara naskah lokal, catatan kerajaan, literatur kolonial, dan tradisi lisan. Ini menuntut kehati-hatian agar tidak mencampur fakta dengan legenda. Contohnya ada perbedaan tahun tahun naik tahta, jumlah pasukan, dan versi kematiannya.
  1. Warisan dan Relevansi Abad 21
  • Nama Sultan Aji Muhammad Idris kini diabadikan sebagai nama Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda (sebelumnya IAIN Samarinda) sebagai penghormatan atas jasa dan warisannya sebagai pemimpin Islam yang mendorong integrasi agama dan pemerintahan.
  • Makam dan kompleks pemakamannya dipugar dan dilestarikan bersama Pemkab Kutai serta Pemkab Wajo, sebagai bagian dari usaha pelestarian situs sejarah dan budaya lokal.
  • Peringatan Hari Pahlawan dan kegiatan budaya seperti napak tilas, ziarah, monumen atau penamaan jalan dengan namanya menjadi bagian pengingat bahwa perjuangan itu tidak hanya milik era kekinian, tapi tertanam dalam sejarah panjang bangsa.
  • Nilai-nilai kepahlawanan yang ia tunjukkan—keberanian, pengorbanan, solidaritas antar kerajaan, penggunaan agama sebagai kekuatan moral—menjadi inspirasi bagi generasi muda terutama di Kalimantan Timur dan luar Pulau Jawa.

Baca Juga Sejarah KH. Ahmad Rifa’i: Ulama, Pejuang Akal & Dakwah yang Teguh

Penutup

Sejarah Sultan Aji Muhammad Idris adalah kisah tentang perubahan: dari kerajaan yang mengadopsi Islam dalam struktur pemerintahan, dari penguasa lokal yang mengambil nama dan gelar Islam, hingga pemimpin yang berani melepas kemewahan istana untuk mendukung perlawanan terhadap penjajah. Ia bukan hanya tokoh kerajaan Kutai, tetapi simbol kepahlawanan Timur Indonesia, yang nilai-nilainya harus terus dikenang.

Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional adalah salah satu langkah menghormati jasanya, namun tugas kita selanjutnya adalah memperkaya pemahaman publik tentang detail-detail sejarahnya: dari dokumen, arsip, naskah lokal, hingga tradisi lisan. Dengan begitu, kisah Sultan Aji Muhammad Idris tidak hanya menjadi legenda, tetapi pelajaran hidup yang nyata untuk memperkuat nasionalisme, toleransi, dan semangat keadilan.

Leave a Comment