Sejarah Perjuangan RA Kartini: Perjuangan Emansipasi dari Balik Pintu Pingitan

Sejarah Perjuangan RA Kartini: Perjuangan Emansipasi dari Balik Pintu Pingitan

  1. Pendahuluan: Mengapa RA Kartini Begitu Penting?

Raden Ajeng Kartini adalah nama yang tak bisa dilepaskan dari perjuangan perempuan Indonesia. Di tengah zaman kolonial yang membatasi ruang gerak perempuan, Kartini hadir dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Ia bukan hanya sekadar tokoh feminis awal, tetapi juga simbol perubahan dalam masyarakat feodal Jawa.

Kartini memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan, memperjuangkan kesetaraan, dan menentang praktik pingitan yang mengekang kebebasan perempuan bangsawan Jawa. Meski hidupnya singkat, gagasan dan warisannya terus hidup hingga kini.

Raden Ajeng Kartini: Perjalanan Hidup, Pendidikan dan Pemikirannya dalam  Memperjuangkan Emansipasi Wanita - Ponpes Modern Al Falah Jatirokeh

  1. Latar Belakang Kehidupan Kartini

Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dalam keluarga bangsawan Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, adalah seorang bupati Jepara yang cukup berpikiran maju. Namun, sebagai anak perempuan ningrat, Kartini tetap harus menjalani tradisi pingitan ketika menginjak usia remaja.

Pingitan adalah praktik mengurung perempuan bangsawan di rumah tanpa boleh berinteraksi dengan dunia luar hingga dinikahkan. Dalam sistem ini, perempuan diposisikan sekadar sebagai pelengkap dalam rumah tangga, bukan sebagai individu merdeka. Namun Kartini tidak tinggal diam—pingitan justru menjadi titik balik perjuangannya.

  1. Pendidikan: Jendela Dunia Kartini

Sebelum masa pingitan, Kartini sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah untuk anak-anak Belanda dan kaum priyayi. Di sana ia belajar bahasa Belanda, yang kelak menjadi kunci utama aksesnya ke dunia pengetahuan Barat. Melalui buku, majalah, dan surat kabar, Kartini mengenal pemikiran-pemikiran modern tentang emansipasi dan kesetaraan.

Salah satu buku yang sangat mempengaruhi pemikirannya adalah karya-karya tokoh feminis Eropa seperti Multatuli dan Van Eeden. Ia juga menjalin korespondensi intensif dengan teman-temannya di Belanda, terutama Rosa Abendanon. Surat-surat inilah yang kelak dikenal luas dan dijadikan buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

  1. Kartini dan Emansipasi Perempuan

Di balik jeruji adat dan pingitan, Kartini mulai menggagas pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia percaya bahwa kebodohan adalah salah satu akar dari ketertindasan perempuan. Menurutnya, hanya melalui pendidikan perempuan dapat memahami dunia, mengambil keputusan, dan berkontribusi pada masyarakat.

Kartini menulis dalam salah satu suratnya, “Alangkah besar bedanya antara kehidupan perempuan Eropa dan perempuan kami. Betapa kami dikurung dalam rumah seperti burung dalam sangkar emas.”

Ia juga mengkritik keras sistem poligami, ketidakadilan dalam perkawinan, dan kebiasaan patriarki yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek. Ini adalah pandangan yang sangat berani, terutama untuk seorang perempuan muda di masa penjajahan.

  1. Mendirikan Sekolah: Langkah Nyata Kartini

Tidak cukup hanya menulis, Kartini juga mengambil langkah konkret. Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang mendukung perjuangannya, Kartini mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang. Sekolah ini menjadi tempat belajar keterampilan hidup, membaca, menulis, dan pengetahuan dasar bagi anak-anak perempuan dari berbagai lapisan masyarakat.

Meskipun usianya saat itu baru 25 tahun dan hanya sempat mengelola sekolah itu sebentar sebelum meninggal dunia, inisiatifnya menjadi inspirasi bagi gerakan pendidikan perempuan di berbagai daerah di Indonesia.

  1. Habis Gelap Terbitlah Terang: Gagasan yang Mendobrak

Setelah Kartini wafat pada 17 September 1904 karena komplikasi pasca melahirkan, suaminya dan teman-teman korespondensinya menerbitkan kumpulan surat-suratnya dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Buku ini menggebrak Belanda dan Indonesia. Isinya mengungkap keprihatinan Kartini terhadap kondisi perempuan Jawa, kritik terhadap penjajahan, dan impiannya tentang Indonesia yang lebih adil. Buku ini bukan hanya menggambarkan semangat perjuangan perempuan, tetapi juga kritik sosial terhadap sistem feodal dan kolonial yang menindas.

  1. Warisan dan Pengaruh RA Kartini Hingga Kini

Kartini telah tiada lebih dari satu abad, namun warisan pemikirannya terus bergema. Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal lahirnya, 21 April, sebagai Hari Kartini untuk memperingati perjuangan emansipasi perempuan.

Kartini menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan perempuan di Indonesia pada awal abad ke-20 seperti Putri Mardika, Aisyiyah, dan organisasi perempuan lainnya. Banyak sekolah perempuan didirikan atas semangat Kartini. Bahkan dalam dunia pendidikan, nama Kartini diabadikan sebagai simbol semangat belajar bagi perempuan.

Lebih dari sekadar sosok dalam buku sejarah, Kartini menjadi lambang keteguhan hati, intelektualitas, dan semangat perubahan sosial. Ia adalah bukti bahwa seorang perempuan pun mampu menjadi agen perubahan.

  1. Kartini dan Relevansinya di Era Modern

Di era digital seperti sekarang, perjuangan Kartini masih sangat relevan. Ketimpangan gender, kekerasan terhadap perempuan, akses pendidikan yang belum merata, hingga stereotip sosial, masih menjadi tantangan besar.

Kartini mengajarkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari ruang kecil—bahkan dari balik pintu pingitan. Ia membuktikan bahwa pena bisa lebih tajam dari pedang, bahwa ide bisa menembus tembok adat dan penjajahan.

Perempuan masa kini menghadapi tantangan yang berbeda, namun semangat Kartini bisa menjadi panduan: berani bersuara, berani berpikir kritis, dan berani bertindak. Perjuangan emansipasi bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan proses yang terus berlangsung hingga kini.

Baca Juga Sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional

Penutup

RA Kartini bukan hanya sekadar simbol emansipasi perempuan, tetapi juga representasi dari pemikiran maju, keberanian, dan keteguhan hati. Dari surat-suratnya, kita belajar bahwa memperjuangkan kebenaran tidak mengenal ruang dan waktu.

Sejarah mencatat bahwa perempuan muda dari Jepara ini menolak untuk menjadi korban sistem. Ia memilih menjadi pelita yang menerangi jalan generasi berikutnya. Dan berkat Kartini, perempuan Indonesia hari ini memiliki peluang yang lebih besar untuk berkembang, berkarya, dan bermakna.

Leave a Comment