Sejarah Perjuangan Bung Tomo: Pengobar Semangat Perjuangan 10 November
Latar Belakang Kehidupan Bung Tomo
Bung Tomo, yang memiliki nama asli Sutomo, lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya. Ia berasal dari keluarga yang sederhana namun memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Sejak usia muda, Bung Tomo sudah menunjukkan minat yang besar terhadap dunia pendidikan dan kepanduan. Ia menjadi anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan berhasil mencapai peringkat Pandu Garuda, menjadikannya salah satu dari sedikit orang Indonesia yang mencapai prestasi tersebut pada masa itu
Pendidikan formal Bung Tomo dimulai di Sekolah Rakyat (SR), kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (MULO), dan akhirnya ke Hoogere Burgerschool (HBS). Namun, karena kondisi ekonomi keluarga yang sulit, ia terpaksa meninggalkan pendidikan formalnya pada usia 12 tahun dan bekerja untuk membantu perekonomian keluarga
Baca Juga Sejarah Perjuangan A.H. Nasution: Dari Pahlawan Revolusi hingga Konseptor Perang Gerilya
Peran Bung Tomo dalam Dunia Jurnalistik
Setelah meninggalkan pendidikan formal, Bung Tomo memutuskan untuk terjun ke dunia jurnalistik. Ia bekerja sebagai wartawan lepas di berbagai media, seperti harian Soeara Oemoem Surabaya pada tahun 1937, redaktur mingguan Pembela Rakyat Surabaya pada tahun 1938, dan wartawan serta penulis pojok harian Ekspres Surabaya pada tahun 1939. Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi pembantu koresponden Majalah Poestaka Timoer Jogjakarta untuk Surabaya di bawah naungan Anjar Asmara pada tahun 1940, serta wakil pemimpin redaksi Kantor Berita Domei bagian bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1942-1945
Melalui tulisan-tulisannya, Bung Tomo berhasil menyuarakan semangat perjuangan dan nasionalisme kepada rakyat Indonesia. Ia menggunakan media sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran dan semangat juang rakyat dalam menghadapi penjajah.
Pidato Heroik dalam Pertempuran 10 November 1945
Salah satu momen paling bersejarah dalam perjuangan Bung Tomo adalah peranannya dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ketika tentara Sekutu yang tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) mulai mendarat di Surabaya pada 27 Oktober 1945, suasana kota menjadi tegang. Pada 29 Oktober 1945, Presiden Soekarno datang ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran dan menghasilkan kesepakatan gencatan senjata antara tentara Sekutu dan para pejuang Surabaya
Namun, pada 10 November 1945, pertempuran kembali pecah setelah tewasnya Brigjen AWS Malaby dalam kontak senjata dengan pejuang. Bung Tomo, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), menyampaikan pidato heroik melalui siaran radio yang membakar semangat rakyat untuk melawan penjajah. Dalam pidatonya, ia menyerukan agar berjuang membebaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah dan melawan tentara Inggris. Beberapa kalimat Bung Tomo dalam orasinya yang dibacakan pada tanggal 10 November 1945 adalah sebagai berikut:
“Kita ini bangsa yang besar, tundukkan kompeni, kalahkan tentara Inggris. Kita harus menjaga kehormatan Bangsa Indonesia. Tunjukkan pada tentara Inggris bahwa kita bangsa Indonesia benar-benar ingin merdeka. Merdeka atau mati.”
Orasi tersebut berhasil menggerakkan ribuan pemuda Surabaya untuk kembali ke kota dan bergabung dalam perlawanan. Pertempuran 10 November 1945 kemudian tercatat sebagai peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia
Karier Politik dan Perjuangan Setelah Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo tidak berhenti berjuang. Ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Pada tahun 1955-1956, ia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim dalam kabinet Burhanuddin Harahap. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada periode 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia .
Namun, pada masa pemerintahan Orde Baru, Bung Tomo mulai mengecam kebijakan Presiden Soeharto yang dianggapnya mulai melenceng dari nilai-nilai perjuangan. Akibatnya, pada 11 April 1978, ia ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Soeharto. Setahun kemudian, ia dibebaskan dan lebih memilih untuk fokus pada keluarga dan pendidikan anak-anaknya .
Warisan dan Penghargaan
Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Makkah, saat menunaikan ibadah haji. Jenazahnya dibawa pulang ke Indonesia dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel, Surabaya, sesuai dengan wasiatnya yang tidak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan .