Sejarah M. Zainudin Abdul Majid: Ulama dan Pahlawan dari Tanah Lombok
- Pendahuluan: Mengenang Sosok M. Zainudin Abdul Majid
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nama Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid — atau yang lebih dikenal dengan M. Zainudin Abdul Majid — menjadi simbol ulama pejuang dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beliau bukan hanya seorang pendakwah, tetapi juga pendidik, pejuang kemerdekaan, sekaligus tokoh pembaharu yang membawa semangat keislaman dan kebangsaan di tengah masyarakat.

Perjuangan M. Zainudin Abdul Majid menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya diperjuangkan dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu, pendidikan, dan nilai-nilai moral. Dari tangannya lahir lembaga pendidikan yang kelak menjadi pilar penting dalam mencerdaskan generasi bangsa, yaitu Nahdlatul Wathan (NW) — organisasi Islam terbesar di Nusa Tenggara Barat.
Melalui perjuangan panjangnya, beliau berhasil membangun kesadaran umat akan pentingnya pendidikan dan kemandirian. Hingga kini, jejak perjuangannya tetap hidup dan menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama masyarakat Lombok dan umat Islam di seluruh Indonesia.
- Latar Belakang dan Masa Kecil M. Zainudin Abdul Majid
- Zainudin Abdul Majid lahir pada 17 Maret 1898 di Desa Bermi, Pancor, Lombok Timur, dari keluarga ulama terpandang. Ayahnya, Tuan Guru Abdul Madjid, dikenal sebagai tokoh agama yang dihormati di Lombok, sementara ibunya, Hajjah Halimah, adalah sosok wanita salehah yang berperan besar dalam membentuk karakter anaknya.
Sejak kecil, Zainudin kecil sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan semangat belajar yang tinggi. Ia tumbuh dalam lingkungan religius yang kental dengan tradisi pesantren. Pendidikan dasar agamanya ia dapatkan dari ayahnya sendiri, yang mengajarkan Al-Qur’an, tafsir, hadis, dan fiqih.
Ketekunannya dalam menuntut ilmu membuatnya dikirim untuk melanjutkan pendidikan ke Mekkah pada usia 15 tahun. Di Tanah Suci inilah, ia belajar di berbagai majelis ulama besar dan berguru kepada banyak tokoh Islam ternama. Di antara guru-gurunya adalah ulama asal Nusantara yang berpengaruh, seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani.
Pengalaman belajarnya di Mekkah membentuk pandangan keagamaannya yang moderat, terbuka, dan progresif. Ia menyadari bahwa pendidikan adalah kunci untuk membangkitkan umat dari keterbelakangan dan kebodohan, terutama di tengah tekanan kolonialisme yang masih kuat saat itu.
- Kembali ke Tanah Air dan Awal Perjuangan Dakwah
Setelah menimba ilmu selama lebih dari dua dekade, M. Zainudin Abdul Majid kembali ke Lombok pada tahun 1934. Kepulangannya disambut antusias oleh masyarakat yang sudah lama mendengar kabar tentang kecerdasan dan ilmu agamanya.
Namun, ia segera menyadari bahwa masyarakat Lombok saat itu masih banyak yang tertinggal dalam hal pendidikan dan pemahaman agama. Banyak yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan benar, dan sistem pendidikan masih sangat terbatas.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, beliau memutuskan untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Maka pada 22 Agustus 1937, lahirlah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) di Pancor, Lombok Timur.
Lembaga ini menjadi tonggak awal kebangkitan pendidikan Islam di Lombok. Sistemnya modern untuk ukuran saat itu, karena menggabungkan pendidikan agama dan umum. Tidak lama kemudian, pada tahun 1943, beliau juga mendirikan Nasyiatul Nahdlatul Wathan (NBDI), khusus bagi kaum perempuan, agar mereka juga mendapatkan kesempatan belajar.
Kehadiran lembaga pendidikan ini bukan hanya meningkatkan taraf ilmu masyarakat Lombok, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan melawan penjajahan.
- Kiprah M. Zainudin Abdul Majid dalam Perjuangan Kemerdekaan
Selain sebagai pendidik dan ulama, M. Zainudin Abdul Majid juga terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia percaya bahwa perjuangan melawan penjajah tidak cukup hanya dengan senjata, melainkan juga melalui perjuangan moral dan intelektual.
Pada masa penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan, beliau menggunakan jaringan pesantrennya untuk menyebarkan semangat kebangsaan dan menolak segala bentuk penindasan. Pesan-pesannya dalam ceramah dan pengajian sering kali diselipkan dengan ajakan mencintai tanah air dan pentingnya menjaga persatuan umat.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, M. Zainudin Abdul Majid menjadi salah satu tokoh yang menggerakkan rakyat Lombok untuk mendukung Republik Indonesia. Beliau juga menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, serta aktif membantu memperkuat semangat nasionalisme di Nusa Tenggara Barat.
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, beliau sering menjadi mediator antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal. Dengan wibawa dan ilmunya, ia mampu menyatukan berbagai kalangan untuk bersama-sama menjaga keutuhan bangsa yang baru merdeka.
- Lahirnya Organisasi Nahdlatul Wathan
Pada tahun 1953, M. Zainudin Abdul Majid mendirikan organisasi besar bernama Nahdlatul Wathan (NW) yang berarti “Kebangkitan Tanah Air”. Organisasi ini menjadi wadah resmi untuk mengembangkan pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan di bawah satu naungan yang kokoh.
Nahdlatul Wathan berkembang pesat dan membuka banyak madrasah di seluruh pelosok Nusa Tenggara Barat. Dalam waktu singkat, organisasi ini menjadi kekuatan sosial dan keagamaan yang berpengaruh besar.
Melalui NW, M. Zainudin Abdul Majid berhasil melahirkan ribuan santri, guru, dan ulama yang kemudian menjadi pelanjut perjuangannya. Tak hanya di bidang pendidikan, NW juga aktif dalam kegiatan sosial, dakwah, dan pembangunan masyarakat pedesaan.
Organisasi ini menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang toleran, cinta tanah air, dan moderat — nilai-nilai yang menjadi ciri khas perjuangan sang pendiri. NW kemudian menjadi salah satu pilar penting dalam membangun identitas keislaman dan kebangsaan masyarakat Lombok.
- Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional dan Warisan Abadi
Perjuangan panjang M. Zainudin Abdul Majid akhirnya mendapat pengakuan dari bangsa Indonesia. Pada 10 November 2017, pemerintah secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam bidang pendidikan, dakwah, dan perjuangan kemerdekaan.
Penghargaan ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap dirinya, tetapi juga pengakuan terhadap peran besar ulama dan pesantren dalam sejarah perjuangan bangsa. Hingga kini, pesantren dan lembaga pendidikan yang didirikannya masih aktif dan terus berkembang, menjadi bagian penting dari sistem pendidikan nasional.
Warisan beliau juga terlihat dari ribuan alumni NW yang berkiprah di berbagai bidang — mulai dari pendidikan, pemerintahan, hingga politik. Mereka meneruskan semangat pendiri mereka: berdakwah dengan ilmu, berjuang dengan cinta, dan membangun bangsa dengan akhlak.
Nama M. Zainudin Abdul Majid kini diabadikan sebagai nama Universitas Nahdlatul Wathan (UNW), Masjid Raya Pancor, serta sejumlah lembaga pendidikan lainnya.
Baca Juga Sejarah Mahmud Baharudin II: Sultan Palembang yang Gigih Melawan Penjajahan Belanda
- Penutup: Teladan Seorang Ulama Pejuang yang Tak Lekang Waktu
Sejarah M. Zainudin Abdul Majid adalah kisah tentang seorang ulama besar yang menjadikan ilmu sebagai senjata perjuangan. Ia menunjukkan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman, dan pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati.
Dari tanah Lombok yang jauh dari pusat kekuasaan, beliau membangun gerakan yang menembus batas ruang dan waktu. Dengan ilmu dan ketulusan, ia menyalakan obor perubahan yang masih bersinar hingga kini.
Perjuangannya mengajarkan kita bahwa menjadi pahlawan tidak harus memegang senjata, tetapi cukup dengan mengabdi kepada masyarakat, mendidik generasi muda, dan menjaga nilai-nilai moral bangsa.
Sosok M. Zainudin Abdul Majid bukan hanya milik masyarakat Lombok, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia — sebagai simbol ulama yang mencintai bangsanya dengan segenap jiwa dan raganya. Semangatnya adalah warisan abadi bagi kita semua: untuk terus belajar, berjuang, dan berbuat demi kemajuan bangsa dan kemuliaan agama.