google.com, pub-9717546832976702, DIRECT, f08c47fec0942fa0 google.com, pub-7852137543983973, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Sejarah KH. Ahmad Rifa’i: Ulama, Pejuang Akal & Dakwah yang Teguh

Sejarah KH. Ahmad Rifa’i: Ulama, Pejuang Akal & Dakwah yang Teguh

SURAT WASIAT KH AHMAD RIFAI DI AMBON SEJARAH PERINGATAN Surat Wasiat Kh  Ahmad Rifai Dari Ambon Bernama AL WAROQOT AL IKHLAS Yang Ditujukan Kepada  Murid"nya Dan Menantunya Kh Maufuro Bin Nawawi Di

  1. Ahmad Rifa’i merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah keulamaan di Jawa, khususnya di Kendal, Jawa Tengah. Ia dikenal sebagai ulama pejuang, pencipta kitab, pendakwah yang gigih, serta tokoh yang peduli pada pendidikan umat. Melalui dakwah, karya sastra berbahasa Jawa-Arab, dan kritik sosial terhadap penjajah Belanda, ia meninggalkan jejak kuat yang sampai sekarang masih dikenang. Artikel ini mengulas sejarah lengkap KH. Ahmad Rifa’i, mulai dari masa kecil hingga warisan yang hidup di masyarakat.
  2. Kelahiran dan Latar Keluarga
  • KH. Ahmad Rifa’i lahir pada 9 Muharram 1200 H atau sekitar tahun 1786 M di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah.
  • Ayahnya bernama KH. Muhammad Marhum bin Abu Sujak (alias Raden Soetjowijoyo), seorang penghulu (pemuka agama/bangsawan) di wilayah Kendal. Ibunya bernama Siti Rahmah.
  • Ia adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Setelah ayahnya wafat ketika Ahmad Rifa’i masih kecil (usia sekitar 6 tahun), ia diasuh oleh kakaknya dan kakak iparnya, yang membantu mendidiknya dalam agama.
  1. Pendidikan Awal dan Pembentukan Keilmuan
  • Sejak masih kecil, Rifa’i sudah belajar membaca Al-Qur’an, huruf Arab, memahami salat, mengenal ilmu agama dasar, dan tata cara komunikasi dalam masyarakat bangsawan, seperti penguasaan bahasa krama, karena latar keluarganya yang berhubungan dengan bangsawan di Jawa.
  • Dia belajar agama secara informal di pesantren-pesantren lokal, terutama di bawah bimbingan kakak iparnya, KH As’ari, yang merupakan pengasuh Pesantren Kaliwungu Kendal. Dari situlah Rifa’i mulai mengembangkan kemampuan membaca kitab, mengajar santri, dan berdakwah.
  1. Menuntut Ilmu ke Timur Tengah dan Perluasan Wawasan
  • Ada catatan bahwa KH. Ahmad Rifa’i pernah pergi menuntut ilmu di Makkah, Madinah, dan Mesir. Lama studi tersebut diperkirakan sekitar 20 tahun. Ada yang menyebut bahwa ia di Mesir selama 12 tahun.
  • Di Timur Tengah, ia mendalami berbagai ilmu agama termasuk mazhab Syafi’i, studi ushul fiqih, akidah, ilmu tasawuf, dan kitab klasik. Studi ini memperkaya pemikiran dan metode dakwahnya saat kembali ke Jawa.
  1. Dakwah, Kritik Sosial, dan Gerakan “Tarjumah”
  • Setelah kembali ke Jawa, KH. Ahmad Rifa’i aktif dalam dakwah antar daerah di Jawa Tengah, terutama Kendal dan Kalisalak, Batang. Ia dikenal menerjemahkan kitab-kitab Arab ke dalam Bahasa Jawa (tarjumah) agar ajaran lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam.
  • Metode dakwahnya tidak hanya pengajian biasa; beliau menggunakan syi’ir, puisi, tarjumah, tanbih (sajak atau bait yang mengandung pesan moral/agama), ceramah, dan majelis pengajian umum. Dakwahnya juga mengandung kritik terhadap kebijakan penjajahan Belanda, terutama tentang penindasan rakyat dan kolaborasi pejabat lokal.
  1. Karya Tulis dan Kitab-Kitab
  • KH. Ahmad Rifa’i dikenal produktif menulis. Ia mengarang banyak kitab dan karya dalam bentuk kitab kecil maupun tanbih/tanbih-tanbih, kadang dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon, serta karya syi’ir.
  • Beberapa karya terkenalnya antara lain Kitab Bayan, Ri’ayatul Himmah, Abyanal Hawaij, Syarikhul Iman, dan banyak tanbih yang jumlahnya ratusan/ribuan.
  • Kitab-kitab tersebut tidak hanya mengandung aspek fikih, akidah, dan tasawuf, tetapi juga nilai pendidikan, moral, dan kritik sosial. Ia menggunakan literatur lama sekaligus konteks kekinian zamannya untuk menyentuh kondisi masyarakat di Jawa yang menghadapi kolonialisme.
  1. Perlawanan terhadap Penjajahan Belanda
  • KH. Ahmad Rifa’i dianggap sebagai tokoh perlawanan non-kekerasan. Ia menggunakan dakwah, kritik sosial lewat tulisan, ceramah, syi’ir dan tantangan moral kepada penjajah. Ia sering dituduh oleh pemerintah Belanda melakukan provokasi, sehingga beberapa kali mendapat tekanan, penahanan, hingga pengasingan.
  • Contohnya, Belanda menyita kitab-kitab karangannya, menahan para santri, melarang pengajian, dan melarang ia menetap di tempat tertentu. Ia juga dianggap menyebarkan pesan agar rakyat tidak menaati perintah Belanda yang dianggap zalim.
  1. Masa Pengasingan dan Akhir Hidup
  • Karena aktivitasnya yang dianggap “menghasut” oleh pemerintah kolonial, Rifa’i dicurigai dan akhirnya diasingkan. Ia dipindahkan ke Ambon, lalu ke Manado (kampung Jawa Tondano), Sulawesi Utara.
  • Di pengasingan, meski jauh dari Jawa, Rifa’i tetap produktif—terus menulis, mengirim surat-surat kepada santri dan jamaahnya di Jawa, tetap menggerakkan semangat melawan penjajahan lewat dakwah dan pendidikan.
  • KH. Ahmad Rifa’i wafat pada tahun 1286 H bertepatan 1870 M di kampung Jawa Tondano, Manado, Sulawesi Utara. Makamnya berada di kompleks makam pahlawan lokal di daerah tersebut.
  1. Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional dan Dampak Sejarah
  • Pada 7 Agustus 2004, Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) menetapkan KH. Ahmad Rifa’i sebagai Pahlawan Nasional.
  • Penetapan ini sebagai bentuk pengakuan atas jasa-jasanya dalam dakwah, pendidikan Islam, penyebaran moralitas, dan perjuangan terhadap penjajah Belanda lewat cara-cara non-kekerasan.
  • Dampak sejarahnya masih terasa dalam tradisi pesantren di Jawa Tengah, dalam komunitas Rifaiyah, dalam pengajian kitab-kitabnya, serta dalam budaya dakwah menggunakan bahasa lokal (seperti tarik terjemah ke bahasa Jawa) agar agama lebih dimengerti rakyat awam.
  1. Relevansi Pemikiran KH. Ahmad Rifa’i bagi Era Kini
  • Pendidikan Islam yang merakyat: metode tarjumah dan terjemahan ke bahasa Jawa, pengajaran moral dan agama kepada santri dan rakyat biasa menunjukkan bahwa ilmu agama tak harus elit dan jauh dari bahasa lokal. Dalam era sekarang, penerapan pendidikan agama yang mudah dijangkau dan relevan masih penting.
  • Dakwah dan kritik sosial sebagai kekuatan non-kekerasan: Rifa’i menunjukkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bisa dilakukan dengan pena, dengan suara moral dan kitab, bukan hanya dengan kekerasan. Nilai ini sangat relevan di zaman sekarang di mana hak asasi manusia, keadilan sosial, dan kebebasan berpendapat menjadi isu.
  • Karya tulis sebagai warisan intelektual: banyak kitabnya masih dibaca, diulang pengajiannya, dan dijadikan bahan kajian pesantren. Pengayaan budaya Islam Nusantara lewat karya-karya lokal seperti kitab dalam Bahasa Jawa Pegon menjadi bagian kekayaan budaya.
  • Teladan kepemimpinan ulama: KH. Ahmad Rifa’i sebagai ulama yang gigih, sabar, dan konsisten; dia tetap mempertahankan idealisme saat menghadapi tekanan kolonial. Generasi sekarang bisa mengambil pelajaran tentang integritas, keberanian, dan komitmen dalam mewujudkan perubahan yang adil dalam masyarakat.

Baca Juga Sejarah Abdul Muis: Pejuang Kemerdekaan, Sastrawan, dan Negarawan Indonesia  

Penutup

Sejarah KH. Ahmad Rifa’i adalah kisah seorang ulama yang tak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu menyuarakan perlawanan terhadap penjajahan melalui karya dan dakwah. Lahir di Kendal, dalam kondisi yang menuntut kecerdasan dan ketabahan, ia tumbuh menjadi tokoh yang menggerakkan masyarakat lewat terjemahan kitab, pengajian umum, seni syi’ir, serta kritik sosial terhadap penjajah Belanda. Meskipun pengasingan dan tekanan silih berganti datang, Ahmad Rifa’i tetap produktif sampai akhir hayatnya.

Warisan beliau tetap hidup: kitab-kitabnya masih diajar dan dikaji; komunitas pengikut Rifaiyah terus melestarikan tradisi dakwah dan pendidikan beliau; masyarakat di Jawa Tengah dan sekitarnya masih merayakan pengajaran kitab-kitabnya, terutama di masa Ramadan. Sebagai Pahlawan Nasional, namanya kini diukir dalam sejarah bangsa.

Leave a Comment